![]() |
Ilustrasi |
---
Namanya Ilham. Ia bukan siapa-siapa di mata dunia. Tak memiliki gelar tinggi, tak memakai jas mewah, dan tak memiliki mobil untuk dipamerkan. Ia hanya seorang wartawan lapangan—yang berlari mengejar berita, berpanas-panasan di tengah hiruk pikuk kota, menembus hujan dan debu jalanan demi sebuah tulisan yang mungkin hanya dibaca sekilas.
Tapi bagi Ilham, itu cukup. Selama bisa membawa pulang rezeki halal untuk perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa: Khusnul, istrinya.
Namun rumah itu dingin. Bukan karena tak ada pemanas, tapi karena tak ada cinta yang menyambut. Setiap langkah pulangnya selalu disambut bukan dengan pelukan, tapi dengan tatapan sinis dan kalimat tajam dari Khusnul, istrinya.
"Ini yang kamu banggakan? Wartawan capek-capek kerja seharian cuma buat bawa uang segini pulang ke rumah ?"
Kalimat seperti itu tak asing lagi bagi Ilham. Bahkan ketika diucapkan di hadapan keluarga istrinya, ia hanya menunduk. Ia bukan tak punya harga diri—ia hanya punya kesabaran yang tak semua orang mengerti. Di balik diamnya, ada lautan doa yang terus mengalir tiap malam.
Ilham tak pernah absen mendoakan Khusnul, istrinya. Di setiap sujud, ia memohon agar Tuhan menguatkannya untuk tetap sabar mencintai seseorang yang sudah lupa cara mencintai balik.
Hari-harinya terus berjalan dalam luka yang tak berdarah. Ketika dunia luar menghargainya karena tulisannya yang menyentuh, rumah justru menjadi tempat paling menyakitkan. Namun Ilham tetap pulang, tetap setia.
Sampai suatu hari, tubuhnya menyerah. Ia tumbang setelah liputan panjang tentang sebuah kebakaran yang memaksanya begadang berhari-hari. Ia dirawat di rumah sakit, terbaring lemah. Dan istrinya?
"Ah, paling sakit biasa. Nggak penting juga dijenguk," ucap Khusnul, dingin, saat ditanya kenapa tak menemani.
Tapi takdir tak bisa ditunda.
Ilham pergi.
Tanpa pamit. Dalam diam. Dalam sepi. Di ranjang rumah sakit yang hampa. Tak ada tangan yang menggenggamnya, tak ada mata yang menangisi kepergiannya.
Barulah dunia Khusnul runtuh.
Tangisnya pecah di pusara Ilham. Suara-suara sinis yang dulu dilontarkannya kini berbalik menjadi gema yang menyayat hati.
“Maafkan aku, Ilham... Maaf karena aku lupa... lupa bahwa kau adalah rumah paling hangat yang pernah kumiliki Ilham…”
Kini, yang tersisa hanyalah kenangan. Kenangan tentang lelaki sederhana yang tak pernah lelah mencintai, bahkan ketika dirinya tak dicintai kembali.
---
Cerita ini bukan hanya tentang cinta, tapi tentang pengorbanan diam-diam yang sering luput dari pandangan. Tentang pria yang tak sempurna di mata manusia, tapi mungkin sempurna di mata Tuhan.
Jika kamu mengenal sosok seperti Ilham dalam hidupmu, peluk dia. Hargai dia. Sebelum waktu mengambilnya, seperti waktu telah mengambilnya dari Khusnul.
Social Footer