![]() |
Ilustrasi Koperasi Merah Putih |
PABAR.EXPOST.CO.ID, FAKFAK – Kemunculan skema pinjaman hingga Rp3 miliar yang ditawarkan oleh Koperasi Desa Merah Putih menuai beragam tanggapan publik, khususnya dari masyarakat Papua Barat. Tak sedikit yang keliru memahami bahwa nominal tersebut merupakan bentuk dana hibah dari pemerintah, padahal sejatinya angka tersebut adalah limit pinjaman yang disediakan oleh pihak perbankan.
Informasi ini dibenarkan oleh sejumlah sumber yang menyebutkan bahwa limit pinjaman tersebut tidak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), melainkan merupakan fasilitas kredit usaha yang bekerja sama dengan bank-bank nasional seperti BNI, BRI, Mandiri, dan BTN.
Limit kredit sebesar Rp3 miliar itu sendiri bukan berarti akan langsung dicairkan seluruhnya. Dalam praktiknya, pencairan awal dibatasi maksimal Rp500 juta, yang akan disesuaikan dengan jenis dan skala usaha yang diajukan peminjam. Proses pencairan dilakukan melalui sistem perbankan yang mengharuskan penandatanganan akta perjanjian pinjaman secara resmi.
Namun, yang menjadi perhatian serius adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap risiko yang menyertai program ini. Banyak yang tergiur oleh besarnya angka pinjaman tanpa mempelajari potensi kegagalan usaha yang justru dapat membebani keuangan desa, khususnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), apabila terjadi kredit macet.
“Jangan sampai ketika usaha yang dibiayai melalui skema ini gagal, APBDes yang justru harus menanggung kerugiannya. Ini sangat membahayakan kemandirian dan stabilitas ekonomi desa,” ujar Ahmad, salah satu pengamat kebijakan publik di Papua Barat kepada wartawan, Jumat (20/6/2025).
Di tengah belum tuntasnya berbagai program seperti ketahanan pangan melalui BUMDes dan program makan gratis nasional, kehadiran program baru melalui Koperasi Desa Merah Putih justru dikhawatirkan menambah beban baru bagi masyarakat desa.
Kritik juga datang dari kalangan masyarakat sipil yang menilai bahwa program ini hanya memperkaya negara dengan cara mendorong rakyat untuk berutang.
“Rakyat yang miskin justru disuruh membiayai negara. Ini paradoks. Negara terlihat kuat secara fiskal, tapi beban sesungguhnya ditanggung oleh rakyat kecil,” ujar seorang aktivis yang enggan disebut namanya.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah pusat terkait pengawasan dan mitigasi risiko dari program pinjaman koperasi ini.
Masyarakat pun diimbau untuk cermat dan bijak dalam mengambil keputusan terkait pinjaman usaha, serta memahami secara menyeluruh mekanisme, hak, dan kewajiban yang tertuang dalam setiap perjanjian. (*)
Social Footer