![]() |
Kawasan hutan di Pulau Gag, kepulauan Raja Ampat, yang merupakan lokasi tambang nikel. (Dok. Istimewa) |
PABAR.EXPOST.CO.ID, RAJA AMPAT, PAPUA BARAT DAYA — Angin laut berhembus pelan, menyapu gugusan pulau karst yang berdiri megah di atas lautan biru. Di sini, di tanah yang oleh banyak orang disebut sebagai surga terakhir di Bumi, alam sedang menangis.
Sejak bertahun-tahun lalu, suara mesin kapal dan dentuman alat berat mulai menggeser nyanyian burung cendrawasih. Hutan-hutan adat dibuka paksa, gunung-gunung dibelah, dan laut dijarah, semuanya atas nama pembangunan. Tapi pembangunan untuk siapa?
"Datang atas nama investasi dan kemajuan, tapi yang kami rasakan hanya kehilangan," ujar Yonas Warinussy, warga adat dari Kampung Warsambin, Raja Ampat kepada wartawan. Selasa, (10/6/2025).
"Tanah kami diambil, gunung kami dihancurkan, hutan kami dicuri, laut kami dicemari, dan suara kami dibungkam," tambahnya.
Di ujung barat Papua, tanah leluhur yang sakral itu perlahan dilucuti. Ironisnya, di tempat lain, di pulau seberang sana — Jawa — gunung-gunung dijaga, hutan-hutan dilestarikan, dan bahkan bukit kecil pun bisa menjadi kawasan konservasi.
"Raja Ampat bukan tanah kosong," tegas Yonas, matanya tajam menatap ke cakrawala. "Ini rumah kami sejak lama, jauh sebelum ada peta negara. Tapi kami selalu dianggap tidak ada," ungkapnya.
Antara Eksotisme dan Eksploitasi
Dalam katalog wisata, Raja Ampat dijual sebagai destinasi impian — surga bagi para penyelam dan pencari ketenangan. Namun di balik promosi wisata dan janji ekonomi hijau, masyarakat adat sering kali hanya menjadi penonton, bahkan korban.
“Investor datang bukan untuk membangun kami, tapi membangun di atas kami,” ujar Neles, pemuda adat dari Waigeo.
“Mereka membawa surat izin dan alat berat, tapi tak membawa hati,” tambahnya.
Masyarakat adat Papua tak menolak perubahan. Yang mereka tolak adalah pembangunan yang meniadakan mereka — pembangunan yang hanya menghitung keuntungan, bukan kehidupan.
Sunyi yang Tak Lagi Bisa Diam
“Di Jawa, suara rakyat kecil bisa membuat bendungan dihentikan. Tapi di sini, suara kami bahkan tak terdengar,” kata Maria, seorang ibu dari Kampung Yenbeser.
“Kami seperti hidup dalam dua Indonesia yang berbeda," ujarnya menambahkan.
Ketika Raja Ampat diperlakukan sebagai tanah bebas yang bisa dibagi-bagi untuk kepentingan industri, di sisi lain, Jawa dijaga dengan ketat. Alamnya dirawat, situs budaya dilindungi, bahkan cerita rakyatnya dijadikan kekayaan nasional.
"Kenapa suara kami tidak sama nilainya?" tanya Maria lirih.
Warisan Leluhur yang Terancam
Di tengah arus eksploitasi, masyarakat adat Papua tetap berdiri menjaga tanah warisan leluhur. Mereka bukan hanya penjaga hutan dan laut, tapi juga penjaga nilai, budaya, dan martabat. Tapi berapa lama mereka bisa bertahan ketika negara seperti berpaling?
Mereka menulis jeritan mereka di batu, di pasir, di angin — berharap ada yang mendengar.
---
#Jeritan_Anak_Adat_Leluhur_Papua
#RajaAmpatBukanTanahKosong
Social Footer